123berita.com – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meradang akibat pecahnya kerusuhan beberapa hari terakhir di negaranya. Ia pun menuding Antifa (antifasis) berada di belakang aksi kerusuhan dan berencana memasukkan kelompok itu ke dalam daftar kelompok teroris.
Pernyataan itu terlontar pascademo besar-besaran di AS. Aksi demonstrasi sendiri meletus di 30 kota memprotes kematian George Floyd.
“Amerika Serikat akan memasukkan Antifa sebagai organisasi teroris,” ujar Presiden Trump dalam cuitannya di Twitter.
Melansir Kompas.com, Senin (01/06/2020), Antifa merupakan payung dari pergerakan sayap kiri ekstrem tanpa ada kepemimpinan pasti. Kelompok itu menentang ideologi sayap kanan ekstrem, di mana mereka melawan neo-Nazi atau kelompok supremasi kulit putih dalam setiap aksinya.
Menurut The New York Times, istilah “Antifa” kali pertama digunakan pada 1946. Kata itu diambil dari frasa Jerman yang menandakan sikap oposisi terhadap Nazisme.
Salah satu kelompok pertama di AS menggunakan nama itu adalah Rose City Antifa yang didirikan pada 2007 di Portland, Oregon. Kelompok itu memiliki banyak pengikut di media sosial dan sering kali membagikan artikel berita berisi identitas serta informasi pribadi tokoh-tokoh kanan.
Pascaterpilihnya Donald Trump sebagai presiden pada 2016, lebih banyak orang mulai bergabung dengan gerakan itu di AS. Sulit mengetahui berapa banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai anggota Antifa. Para pengikutnya mengakui gerakan itu bersifat rahasia, tidak memiliki pemimpin resmi, dan diorganisasi ke dalam sel-sel lokal otonom.
Antifa disebut merupakan satu-satunya gerakan aktivis yang konsisten menentang kelompok sayap kanan dalam beberapa tahun terakhir. Kendati tak berafiliasi dengan kelompok kiri lain, sejumlah anggotanya terkadang bekerja dengan jaringan aktivis lokal lain yang berkumpul di sekitar permasalahan serupa, seperti gerakan Occupy atau Black Lives Matter.
Para pendukung Antifa umumnya berusaha menghentikan apa yang mereka lihat sebagai kelompok fasis, rasial, dan sayap kanan. Mereka beranggapan ide-ide tersebut mengarah pada penargetan kaum marginal, termasuk ras minoritas, perempuan, dan anggota komunitas LGBTQ.
“Argumennya adalah bahwa militan antifasisme secara inheren membela diri mereka karena kekerasan yang didokumentasikan secara historis yang diajukan oleh kaum fasis,” kata Mark Bray, dosen sejarah di Dartmouth College dan penulis Antifa: The Anti-Fascist Handbook.
Banyak anggota Antifa berpartisipasi dalam bentuk pengorganisasian masyarakat yang lebih damai, namun mereka percaya bahwa menggunakan kekerasan dapat dibenarkan. Pasalnya, mereka menganggap jika kelompok rasial atau fasis dibiarkan berorganisasi dengan bebas, maka akan menghasilkan kekerasan terhadap kaum marginal.
Lebih jauh Bray menjelaskan, kelompok Antifa kerap menggunakan taktik mirip kelompok-kelompok anarkistis, seperti berpakaian serba hitam dan mengenakan topeng.
Dikutip dari BBC, taktik itu dikenal dengan “blok hitam”, memungkinkan mereka untuk bergerak bersama sebagai satu kelompok anonim. Kelompok-kelompok itu juga memiliki ideologi tumpang tindih karena kerap mengkritik kapitalisme dan berupaya membongkar struktur otoritas, termasuk pasukan polisi.